Sejarah singkat Maha Gotra Tirta Harum (MGTH)
Berawal dari kedatangan Dang Hyang Subali dan Dang Hyang Jaya Rembat ke Bali tahun 1350 sebagai Bhagawanta mendampingi Shri Kresna Kepakisan sebagai Adipati pemimpin Bali setelah penundukan Bali tahun 1343. Perjalanan Dang Hyang Subali dalam usaha memohon petunjuk secara Niskala kepada penguasa Bali di Gunung Tohlangkir (Gunung Agung) telah meninggalkan jejak jejak bersejarah. Dimulai dari tempat armada Majapahit berlabuh di Pantai Rangkung atau Pantai Lebih menuju camp Gajah Mada di Samprangan naik ke arah timur laut meninggalkan jejak jejak yang hingga kini dilestarikan dan disucikan menjadi Pura, seperti Pura Batu Madeg Guliang, Pura Surabi Guliang, Pura Pasenetan Guliang, Pura Dalem Tengaling, Pura Taman Narmada Bali Raja Taman Bali, Pura Dalem Siladri di Nyalian, Pura Tirta Harum dan Pura Jero Puri. Selain jejak tempat bersejarah tersebut Dang Hyang Subali juga menurunkan seorang putri bernama Ni Dewi Njung Asti yang kelahirannya dikaitkan dengan mata air suci di tepi jurang Tukad Melangit yang dikenal dengan nama Tirta Harum.
Setelah beberapa tahun kepemimpinan Dalem Kresna Kepakisan berlang sung seterusnya pemerintahan diganti kan putra Beliau yakni Dalem Wayan bergelar Sri Agra Samprangan atau dikenal pula dengan sebutan Dalem Ile. Kemelut pemerintahan yang terjadi selama pemerintahan Dalem Ile mendorong beberapa petinggi Kerajaan untuk segera melakukan suksesi yang pada akhirnya diangkatlah adik beliau Dalem Ketut Ngulesir sebagai Raja Bali dan beristana di Gelgel bergelar Dalem Semara Kepakisan. Mengingat usia dan pengalaman yang masih muda, Prabu Hayam Wuruk kemudian mengutus paman sekaligus mertua beliau yakni Shri Wijaya Rajasa yang juga duduk sebagai Anggota Dewan Sapto Prabhu sebagai Dang Guru Nabe Dalem.
Kedatangan Shri Wijaya Rajasa tahun 1380 sangatlah strategis mengingat beliau adalah Raja Kedaton Timur Majapahit sekaligus adalah Raja dari 3 Kerajaan bawahan Majapahit yaitu Kerajaan Daha, Keling dan Wengker. Beliau juga penguasa pusat perekonomian Majapahit di Pamotan dan pesisir utara Jawa yang membentang dari Lamongan hingga sebagian Jepara. Di Bali Shri Wijaya Rajasa dikenal dengan sebutan Shri Aji Wengker atau Dalem Keling berpesraman di sebelah Timur Laut Kerajaan Samprangan di sebuah Jero Agung Guliang peninggalan Dang Hyang Subali yang sekarang dikenal dengan nama Pura Dalem Tengaling.
Selama masa penggemblengan Dalem Semara Kepakisan sebelum menduduki Singgasana Kerajaan di Keraton Gelgel, Shri Wijaya Rajasa sendiri memimpinn tata kelola pemerintahan di Bali selama 8 tahun. Terutama pada daerah daerah yang masih bergejolak seperti di daerah sekitar Tamblingan, Gobleg dan sekitarnya serta daerah pegunungan Kintamani dan Karangasem. Prasasti Tamblingan III dan Prasasti Her Abang II yang dikeluarkan oleh Shri Wijaya Rajasa, menjadi bukti peran beliau sekaligus menjawab teka teki kenapa seorang Raja dari Jawa bisa mengeluarkan prasasti di Bali.
Sudah menjadi kehendak sejarah bahwa kehadiran Shri Wijaya Rajasa di Jero Agung Guliang telah mempertemukan beliau dengan Putri Dang Hyang Subali, Ni Dewi Njung Asti. Pertemuan ini melahirkan Sang Angga Tirta yang sepeninggal Shri Wijaya Rajasa ke Jawa dibesarkan oleh Danghyang Jaya Rembat yang sebelumnya tinggal di Kentel Gumi. Keturunan Sang Angga Tirta inilah seterusnya menjadi cikal bakal Wamsakarta Satrya Taman Bali.
Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong putra putra Sang Angga Tirta ditempatkan sebagai penguasa wilayah dimana Sang Garbha Jata yang beristri putri Dalem Waturenggong menjadi Manca di Taman Bali bergelar I Dewa Taman Bali, Sang Telabah menjadi Anglurah di Kuta dengan Gelar Gusti Telabah atau Arya Telabah. Sedangkan warih Sang Angga Tirta yang lain diberi kekuasaan di Nyalian yang sebelumnya pernah dibuatkan sebuah Puri di sebelah utara Bencingah Kerajaan Gelgel disebut Puri Denbencingah bergelar I Dewa Kanca Den Bencingah. Bertahun tahun sebagai manca di Taman Bali, wilayah inipun berkembang menjadi Kerajaan “Taman Bali” yang independen. Dari beberapa buku yang diterbitkan tahun 1800-an Kerajaan Taman Bali tercatat pernah menjadi bagian dari 8 wilayah kekuasaan (kerajaan) di Bali bersama dengan Kerajaan Klungkung, Karangasem, Gianyar, Badung, Buleleng, Mengwi dan Tabanan.
Sementara kekuasaan Nyalian pun berkembang hingga secara de facto menjadi sebuah Kerajaan “Nyalian”. Dalam sejarah Kerajaan Nyalian tercatat ikut membantu Kerajaan Taman Bali dalam perseteruan Taman Bali dengan penguasa Singarsa Bangli, yang akhirnya berhasil mendudukkan salah satu putra Kerajaan Taman Bali sebagai penguasa Singarsa Bangli. Ke-anglurahan ini pun berkembang pesat hingga menjadi sebuah Kerajaan “Bangli”.
Sudah menjadi kehendak sejarah pula berbagai perselisihan yang terjadi baik diantara ketiga Kerajaan bersaudara ini maupun dengan Penguasa Bali (Dalem) menyebabkan kehancuran Kerajaan Nyalian dan Taman Bali. Hal ini pula kemudian membuat pratisentana Satrya Taman Bali hingga kini tersebar tidak kurang pada 226 Desa diseluruh Kabupaten di Bali. Berbagai kisah sejarah mewarnai penyebaran ini hingga terbentuk soroh-soroh yang beragam dan terhimpun dalam bentuk dadia dadia.
Penyebaran pratisentana Satrya Taman Bali dengan beragam soroh dan dadia ini kemudian sejak awal tahun 1970 mulai lebih intensif mengorganisir diri, hingga pada tahun 1995 sepakat membentuk paiketan pasemetonan yang dikenal dengan nama Pasemetonan Maha Gotra Tirta Harum (MGTH).
Sejarah lengkap Maha Gotra Tirta Harum sejak tahun 2015 telah dibukukan dengan judul Sejarah Maha Gotra Tirta Harum yang hingga kini telah diterbitkan sebanyak 4 kali melalui revisi dan penambahan sesuai penemuan bukti-bukti sejarah baru terkait MGTH.